This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 27 Agustus 2017

Catatan Beach Camp #2 Pantai Sanglen

Privat Beach

Setelah saya menceritakan tentang pengalaman pertama saya beach camp saya akan menceritakan pengalaman kedua saya. Sebelumnya adalah Pantai Seruni, kali ini adalah Pantai Sanglen. Sebelum kami melakukan perjalanan ke pantai ini, kami harus melakukan riset di ointernet. Jangan sampai kejadian sebelumnya kembali terulang (Pantai Seruni memiliki lancadan untuk helikopter ternyata itu Pantai Seruni di Sulawesi bukan di Gunung Kidul) hahaha….

Pantai Sanglen terletak di kawasan Gunung Kidul juga, sama seperti Pantai Seruni. Hanya yang membedakan adalah pantai ini terletak di sebelah Pantai Watu Kodok. Ketika kalian melewati gerbang menuju pantai dari arah Pantai Baron ke arah Pantai Indrayanti, akan melihat tulisan Pantai Watu Kodok di sisi kanan jalan. Setelah kalian mengikutinya, akan melewati gapura bertuliskan Pantai Watu Kodok. Jika ke Pantai Watu Kodok belok ke kiri maka ke Pantai Sanglen lurus. Jalannya juga tidak terlalu jauh dan ekstrem. Untuk tempat parkir sama seperti Seruni yakni di atas tebing. Waktu itu saya dan team membawa dua mobil. Cukup kok tempat parkirnya. Bahkan waktu saya mau pulang ternyata di tempat parkir ada empat mobil. Waktu itu pantai lumayan masih sepi, tapi fasilitasnya sudah cukup lengkap. Karakteristik pantai ini adalah area pasir yang luas dan ditumbuhi banyak pohon pantai yang berakar. Tidak seperti Seruni yang memiliki batuan besar dan bisa kita panjat, di Pantai Sanglen banyak kita jumpai tanaman yang berbatang kuat jadi bisa kita pakai untuk tempat hammock. Pantai Sanglen juga lebih rindang dan teduh. Saat kami sampai pada jam maghrib, pantai masih terlihat sepi. Hanya ada tenda kami dan dua tenda lain. Nenek dan Kakek yang menjaga juga sudah dangat sepuh. Semoga masih sehat sampai sekarang ya Kek, Nek…. Beliau juga sangat ramah sekali, bahasa yang digunakan juga Bahasa Jawa Krama. Jadi yang ga bisa bahasa Jawa suruh translate temennya yang bisa. Kami juga sempet berbagi makanan. Jika kalian kehabisan makanan juga tak perlu khawatir karena di warung nenek menyediakan mie dan nasi kok. Kalau mau bikin api unggun juga bisa. Tapi bilang ke kakek rada keras ya volumenya soalnya pendengaran kakek sudah tidak dapat mendengar suara dengan jelas. Kakek juga sangat ramah jika ombak mulai besar, kami diingatkan. Selain itu, kakek juga memberikan saran tempat yang bisa didirikan tenda. Malam semakin larut dan kami mulai menyiapkan api untuk membuat makan. Sangat disayangkan kami tidak dapat menikmati sore di Pantai Sanglen karena terlalu malam sampai di tempat tersebut. Selain mendirikan tenda, kami juga mendirikan hammock. Cuaca di sini juga sangat cerah jadi bisa melihat bintang dengan jelas, tapi harus turun dulu di dekat bibir pantai. Sekitar jam sepuluh malam biasanya pantai akan pasang dan ombak akan naik dengan tingginya. Namun tak perlu khawatir lagi karena kakek dapat menenangkannya kok. Waktu sudah menunjukkan pukul satu pagi, saya tiduran di hammock dan tak sadar saya sudah tidur di atas hammock. Udara malam itu sangat dingin, sekitar jam setengah 4 saya memutuskan tidur di tenda.

depan kamar mandi hahaa



main bola sendirian karna ga ada pengunjung lain

liat, sepi kan

 







muka bantal karna baru bangun tidur dan penampakan tenda kami




Pagi pun tiba, saya lihat pantai masih sepi, dan tidak terlihat kerumunan orang bermain air. Saya merasakan seperti pantai pribadi. Saya lihat kiri, kanan, depan, belakang tak nampak sebatang hidung pun selain saya. Ombak di pantai ini juga besar pada pagi hari. Namun kakek tetap memberi saran pada kami untuk berenang di ujung pantai. Karena di ujung pantai terdapat banyak karang pemecah ombak jadi tidak terlalu berbahaya meskipun kita juga harus tetap waspada. Dari ujung pantai kami dapat melihat tebing-tebing yang menjulang tinggi tapi sayang tidak dapat dipanjat. Beberapa jam setelah kami bermain air, kami berbilas. Fasilitas kamar mandi yang disediakan juga hampir sama seperti Pantai Seruni, tetapi tidak lebih banyak dari Pantai Seruni. Jadi harap Antri! Tidak sabar, saya memutuskan untuk mandi di bawah shower, eh... pancuran air yang berasal dari mata air. Memang itu yang disarankan anak kakek penjaga. Hahaha

kek di hutan pinus kan

bukit samping pantai

my super team
Setelah beberapa saat beristirahat kami mulai membereskan tenda. Oiya kalo camping di pantai ini bayar juga ya. Tapi saya lupa berapa bayarnya. Waktu saya kesini sih murah ya karena belum ada campur tangan pemerintah untuk membangun pantai. Semua murni dari kakek, nenek, dan anak-anaknya, dan warga kampung. Nanti di cerita beach camp selanjutnya saya akan saya kasih tau biaya terbarunya. Kami beristirahat sejenak di warung atas tebing sambil menikmati satu buah kelapa muda. Saya juga di kasih tahu oleh ibu penjaga warung bahwa di tebing ada taman yang masih di bangun. Karena penasaran saya tengok. Benar saja pemandangan indah saya lihat dari atas sini. Samudera luas dapat terlihat dengan jelas dan memang taman masih di bangun. Pantai ini juga recommended bagi kalian yang akan melakukan beach camp. Kapan? Segerakan!!!

Catatan Beach Camp #1 Pantai Seruni

First Time

Pantai Seruni terletak di kawasan Gunung Kidul, Yogyakarta. Jika mau menempuh pantai ini (dulu) sangat susah. Pantai ini satu deret dengan Pantai Sepanjang. Setelah  memasuki arah pantai sepanjang, kalian harus  berbelok ke kiri untuk sampai ke Pantai Seruni karena jika lurus akan ke pantai sepanjang. Medan jalannya cukup ekstrem. Naik dan turun, kontur tanahnya juga masih bebatuan dan lumpur. Belum ada lampu penerangan juga jika malam hari. Jika jalan batuan menanjak kita harus melakukan kuda-kuda agar kendaraan kita tidak mundur. Saat itu saya dan tim memakai sepeda motor. Tidak ada masalah waktu berangkatnya. Kami berangkat dari Solo pukul 11 siang dan perjalanan kita tempuh selama 3 jam (karena sempat nyasar). Kami lewat di jalur Weru, bukan di jalan Prambanan.  

Sesampainya di sana, motor kami diparkirkan di ara parkir di atas tebing. Dari sini pemandangan Pantai Seruni sudah nampak. Pada saat itu memang belum banyak pedagang jadi pantainya like virgin belum terjamah banyak orang. Hanya beberapa kamar mandi saja yang sudah selesai dibangun, sisanya masih dalam tahap pembangunan. Pantai Seruni masih sedikit pepohonan tetapi beberapa pepohonan terlihat rimbun dan belakangnya tertutup tebing yang sangat tinggi. Memang dari Pantai Seruni tidak nampak sunrise karena jika ingin melihat sunrise harus melihatnya dari atas tebing. Di samping tebing juga ada bekas air terjun purba. Namun, sunset yang sangat indah bisa dinikmati di Pantai Seruni.

Ini ketika saya meloncat dari salah satu batu besar di bibir pantai



ini kolam alami karna karang yang berlubang

golden sunset




Kami sesegera mungkin membangun tenda karena sekitar jam 4 sore matahari sudah tidak terlalu terik di Pantai Seruni. Setelah tenda dibangun, kami bermain air. Pada jam setengah 5 air pantai sudah surut dan ombak tidak terlalu besar. Pantai ini memiliki karang-karang yang berlubang besar dan kita bisa berenang di dalamnya. Jadi, terlihat seperti kolam renang alami. Ini salah satu spot favorit di Pantai Seruni. Selain itu, kita juga dapat melihat golden sunset di Pantai Seruni. Tak perlu jauh-jauh untuk naik ke tebing atau bukit untuk melihat golden sunset karena kita bisa langsung melihatnya di depan mata sembari bermain dengan ombak. Ini salah satu pantai yang tidak pernah bisa saya lupakan. Momen terbaik saya dapat melihat sunset di pantai. Kami sangat puas menghabiskan sore hari di pantai ini. Hingga tak sadar waktu sudah hampir malam. Kami pun berbilas di kamar mandi yang sudah disediakan. Air yang ada di kamar mandi tersebut merupakan air payau jadi bukan seutuhnya air tawar. Tapi tak menjadi masalah untuk kita mandi dan tidak ada efeknya kok.
Malam pun tiba, kami mulai membuat perapian untuk membuat nasi dan bebakaran. Tenang saja, kalian tak perlu khawatir kehabisan kayu karena bapaknya yang menunggu pantai menyediakan banyak kayu bakar. Bapak tersebut juga sangat ramah kepada pengunjung. Setiap kali ombak besar kami selalu diberi nasihat dan beliau juga dapat menenangkan ombak tersebut. Untuk seikat tali kayu bakar dijual sekitar sepuluh ribu. Jumlah kayu tersebut sangat banyak kok. Bayarnya akan diakumulasikan dengan biaya sewa tempat dan MCK ya. Berhubung kami sudah membawa jagung, sosis, dan bebakaran yang lain serta arang jadi kami lebih menghemat biaya. Cuaca malam hari juga sangat mendukung yaknoi cerah tanpa awan. Kita bisa melihat bintang dengan mata secara langsung. Terkadang kita juga melihat bintang yang jatuh. Jangan lupa meminta permohonan agar balikan dengan mantan. Eh…. Maksudnya mendapatkan pengganti mantan. Kami habiskan malam sambil bernyanyi dengan gitar. Coba deh kalian rasakan malam yang sama seperti saya rasakan. It’s the best moment in my life dan saya sangat rindu momen ini terjadi lagi di hidup saya. Pada malam hari banyak juga pengunjung yang akan camping di sini. Jadi jangan heran ketika banyak sorot lampu dari atas tebing dan mulai rame pada malam hari. Saya tidur jam 2 pagi karena saking nyamannya tempat tersebut untuk menghabiskan malam.

Kitapun bisa bebakaran di samping pantai

Esok paginya, saya sudah melihat banyak orang dan lebih banyak tenda. Mereka sudah banyak yang bermain air. Padahal ombak di pagi hari sangat besar. Saya mencoba mendaki tebing-tebing kecil. Dan mencari keberadaan air terjun purba. Saya hanya melihatnya dari jauh karena ombak sudah terlalu besar. Ya tapi namanya juga manusia pasti ngikutin yang lain. Akhirnya kami bermain ombak. Saking besarnya ombak, teman saya yang paling kurus (Anonimnya) sampai terseret ombak. Ini juga salah satu momen terbaik saya karena dari kejadian terseret ombak kita dapat saling menolong. Pantai ini memiliki kontur pasir pantai putih namun berkarang dan kadang pecahan karangnya membuat kita luka. Tapi dari luka itu kita dapat semacam tanda kenang-kenangan. Haahaha…….

pinggir pantai


Jadi, kesimpulan dari cerita saya adalah Pantai Seruni merupakan pantai yang  recommended untuk camping. Mungkin akses dan fasilitas di Pantai Seruni juga sudah bagus karena waktu daya ke sana (dulu) sedang dalam proses pembangunan. Ini juga 
menurut saya beach camp paling berkesan. Untuk temen-temen yang baru akan merencakan beach camp segera saja. Karena menurut saya camping di Gunung atau di pantai sama-sama berkesan tapi lebih simpel di pantai. Tunggu kelanjutan cerita saya di catatan beach camp yang lain.



Minggu, 20 Agustus 2017

Catatan Pendaki #3 Gunung Andong

Solo, Juli 2016, Pagi, kami berempat (Saya, Erwin, Ayas, dan Intan) memutuskan untuk melakukan pendakian ke Gunung Andong, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Ya meskipun gunung ini tingginya hanya 1726 MDPL tapi cukup memuaskan bagi saya. Alasan kami memilih gunung ini untuk di daki karena teman cewek kami yang satu ini berbadan kurus  (anonimnya) dan pertama kali baginya untuk mendaki. Sekitar pukul 3 sore kami berangkat menuju ke gunung ini. Dari solo kami menuju ke arah boyolali kemudian salatiga dan ambil ke arah magelang. Kami harus berjuang dahulu dengan melawan bus arah semarang. Ketika perjalanan kami juga melewati objek wisata Kopeng. Akses ke gunung ini juga cukup mudah. Sekitar 3 ,5 jam perjalanan kami sampai di pos pendakian ke gunung andong. Kami lihat di pos tidak ada pengunjung (Iyalah ngapain nungguin pos), tapi beberapa saat setelah kami istirahat barulah ada banyak pendaki yang akan mendaki Gunung Andong. Ada satu pasang yang dari Solo akan mendaki bersama kami setelah sebelumnya melakukan perbincangan. Setelah jam 7 malam kami pun mulai pendakian. Kenapa mendaki pada malam hari? Karena kami akan melihat lampu-lampu di bawah dan ingin melihat sunrise juga.

Pada awal perjalanan kami melewati kampung sekitar dan ladang penduduk, barulah setelah melewati gapura jalan akan menanjak. Saat pendakian mulai menanjak itu dapat kita jumpai banyak pohon pinus yang tumbuh di sekitarnya. Kontur tanah yang kita pijak untuk menuju ke pos satu masih terbilang aman. Kalian tak perlu khawatir jika hendak beristirahat, pasalnya pada setiap tikungan banyak tempat duduk kayu yang disediakan. Pos satu Gunung Andong ini ditandai dengan tempat peristirahatan yang cukup nyaman karena berupa gubuk-gubuk. Kami menyempatkan beristirahat di pos ini untuk menghela napas. Tak berapa lama kami akhirnya melanjutkan perjalanan ke pos dua. Jarak pos satu ke pos dua hanya 20 menit.

Sesampainya kami di pos dua kami dapat melihat jejeran pohon pinus yang berjejer rapi. Masih sama seperti di pos satu, pada pos dua ini juga terdapat tempat duduk seperti untuk kita dapat beristirahat sejenak. Tanpa berlama-lama kami pun segera melanjutkan pendakian kami ke Puncak Jiwa. Saya rasa perjalanan ke Puncak Jiwa ini sangat menakjubkan dengan trek yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Pada perjalanan tersebut kami bertemu satu keluarga yang akan turun ke basecamp setelah sampai di puncak. Saya cukup takjub dengan perjuangan anaknya karena baru berumur sepuluh tahun sudah sering mendaki gunung. Dalam perjalanan ini juga kita akan melewati tepian punggung gunung dengan jalan setapak dan di samping kirinya adalah jurang. Namun ada yang terlihat memukau yakni kita dapat melihat pemandangan pemukiman penduduk di situ secara langsung dari ketinggian. Kita juga dapat menemukan sumber mata air yang sangat menyegarkan. Tidak lupa saya sempatkan untuk mengisi botol kemasan air minum kami yang telah habis tadi. Setelah beberapa saat kami mendaki terlihatlah sebuah bangunan seperti joglo namun itu adalah makam. Mungkin itu makam bisa menjadi makan tertinggi. Namun kalian tak perlu khawatir karena kalian tak perlu melewati makam itu. Jalurnya adalah ke kiri untuk ke makam dan ke kanan untuk ke puncak andong. Kita akan melihat sebuah warung dari jalur pendakian. Tak usah heran, karena di atas puncak jiwa ini memang ada warung. Jadi, kalau kalian tidak bawa perbekalan yang cukup kalian bisa jajan di warung tersebut. Setelah sampai di Puncak Jiwa kami mencari tempat yang strategis untuk mendirikan tenda tapi karena tempat tersebut kurang asyik yaaaa kami memutuskan untuk naik lagi di Puncak Andong. Jarak dari Puncak Jiwa ke Puncak Andong hanya  menit saja kok. Udara dingin sudah sangat terasa di Puncak Andong. Ternyata sudah banyak pendaki yang mendirikan tenda di atas Puncak Andong ini. Kami pun mencari tempat strategis dan segera mendirikan tenda. Tetangga tenda kami bahkan ada yang sedang membakan dua ekor ayam. Pemandangan dari Puncak Andong tersebut sangat indah, kami bisa melihat kota Salatiga dan Magelang secara langsung dari ketinggian. Beruntungnya kami, cuaca saat itu sedang cerah. Kami akhirnya memutuskan untuk menghabiskan malam dengan berbincang-bincang dengan tetangga tenda.

Keesokan paginya, sebelum sang surya menampakkan dirinya, kami antusia untuk melihat sunrise yang katanya terlihat indah dari atas Gunung Andong.  Kami, para pendaki, menunggu detik-detik datangnya sang surya. Kami dapat melihat dari depan kami terlihat Gunung Merbabu dan terlihat mengintip Gunung Merapi. Terlihat juga Gunung Lawu di arah timur dan dari situlah sang surya muncul. Di belakang kami dapat melihat Gunung Ungaran, serta Sindoro dan Sumbing. Sambil menyaksikan sunrise kami membuat makanan dan kopi. Such a pleasure for me… Setelah sang surya sudah berada di atas kami pun segera berkemas untuk kembali ke kampung halaman. Karena semakin lama di atas puncak udaranya semakin panas. Tak perlu waktu yang lama untuk sampai di basecamp. Tidak sampai satu jam.

di belakangnya itu adalah Puncak Jiwa (yang ada bangunannya) dan Gunung Sindoro-Sumbing

ga afdol kalo ga foto di penanda Puncak Gunung Andong

pemandangan dari belakang tenda
penampakan tenda kami

my team my family

Gunung Sindoro Sumbing Terlihat di Sini

Ggunung Lawu


Sekian cerita dari saya tentang pendakian di Gunung Andong. Bagi para pendaki pemula bisa mencoba mendaki di gunung ini. Medan yang ditempuh dan kontur tanah juga tidak terlalu susah untuk didaki para pemula. 

Rabu, 02 Agustus 2017

Catatan Pendaki #2 Gunung Batu

Mulai Ketagihan

Jakarta, Februari 2016, sore hari setelah kedatanganku dari malaysia untuk sebuah misi kemanusiaan, saya berkabar dengan teman saya yang berasal dari Solo yang saat itu sedang menyelesaikan studinya di salah satu kampus swasta terbaik di Jakarta. Saya memberitahunya bahwa saya sudah berada di Indonesia, tepatnya di rumah saudara saya di daerah Jagakarsa. Teman saya, sebut saja Bayu sangat antusias dengan kedatangan saya, ya khususnya karna saya menjanjikan akan memberikannya oleh-oleh dan beberapa uang ringgir (ini bener kan bro?). Kami melakukan perjanjian melalui pesan singkat untuk nongkrong bersama. Saat itu pula teman saya memang sudah merencanakan untuk melakukan pendakian dengan teman-teman kampusnya. Akhirnya dia memutuskan untuk mengajak saya melakukan pendakian pada esok harinya. Di saat saya merasakan jetlag, keesokan harinya saya harus mendaki (bisa bayangkan?!). Awalnya saya memang menolak karena kondisi bandan yang kurang memungkinkan, tapi karena saya penasaran (kapan lagi bisa mendaki di daerah ini) akhirnya saya memutuskan untuk ikut dengan teman saya untuk mendaki gunung.


Kesokan harinya, sekitar pukul delapan, saya berangkat dari stasiun Universitas Pancasila ke Universitas Indonesia untuk bertemu dengan kawan saya. Setelah sampai di stasiun UI saya diajak ke kontrakan Bayu dan bertemu dengan teman-temannya. Ada 2 orang lelaki, sebut saja Fauzi dan Aldo, serta 1 wanita yang cukup friendly, sebut saja Safiah. Kami berlima akan berangkat ke Gunung Batu, daerah Joggol, Kabupaten Bogor. Tingginya sih hanya 875 MDPL. Aksesnya bisa dilihat di https://id.wikipedia.org/wiki/Gunung_Batu_Jonggol Kami menyiapkan perbekalan seadanya, dan ternyata saya lupa ternyata saya menggunakan sepatu cats dan celana jeans. Namun kata mereka itu tidak terlalu menjadi masalah karena gunungnya tidak terlalu tinggi. Tepat pukul sembilan kami meluncur dari Depok ke Jonggol dengan perjalanan tempuh sekitar tiga jam. Saat perjalanan badan saya memang tidak terasa fit karena terlalu lelah tapi semangat saya berkobar sehingga menghilangkan rasa lelah yang saya derita. Jalan yang kami lalui seperti jalan biasanya hingga sampai ke pedesaan yang jalannya berkelok dan naik turun tapi tidak terlau ekstrim seperti jalan menuju ke Gunung Merbabu (lihat cerita saya di http://catatanyotam.blogspot.co.id/2017/07/catatan-pendaki-1-gunung-merbabu.html ). Dari kejauhan nampak berjajar perbukitan dengan tanda panah arah Gunung Batu 1, 2, 3, tapi saya kurang tau ada berapa Gunung Batu di sini yang saya tahu saya hanya menuju ke Gunung Batu 1. Akses untuk menuju Gunung Batu 1 tidak terlalu susah hingga sampai di parkiran. Kami harus berjalan sekitar 1 kilometer untuk menuju ke gerbang pendakian dari parkiran. Jalannya saat itu dipenuhi bebatuan dan tidak rata, ada pabrik pengerukan tanah juga di sebelah kiri jalan dan kolam pemancingan di sebelah kanan jalan. Struktur tanahnya juga naik turun. Sesampai di gerbang pendakian ternyata kami kaget, banyak sepeda motor yang ada di situ. Tak disangka ternyata parkir terlalu jauh dari pintu gerbang padahal ada tempat parkir di depan pintu gerbang (maklum baru pertama). Kami diminta membayar retribusi kebersihan dan karcis masuk dengan total Rp 7.000,- (Murah? Banget!)Awal masuk gerbang kami langsung disuguhkan dengan jalan menanjak dan struktur pasir seperti tanah liat yang lumayan keras tapi halus dan banyak pepohonan yang dapat menjadi penopang kita ketika mendaki. Lumayan jauh tanjakannya, dan sesekali ada tanah datar juga sebagai tempat peristirahatan. Jarak ke pos satu sangat dekat kurang lebih 25 menit dengan ditandai pohon besar dan tempat duduk dari kayu. Pada pos satu ini kita sudah bisa melihat pemandangan sekitar yang lumayan luas dengan titik kemiringan 45 derajat. Kami (terpaksa) break karena si cewek butuh asupan udara dan minuman. Setelah beberapa saat kami beristirahat, kami lanjutkan perjalanan kami dari sini sudah mulai terasa titik penanjakan yang lumayan berbatu dan Safiah merasa tidak kuat tapi kami sebisa mungkin memberikan motivasi untuknya hingga sampai di pos 2. Tapi tanjakan menuju pos 2 tidak seekstrim di Gunung Merbabu, hanya tanjakan ini sangat berbatu (Iyalah namanya juga Gunung Batu) jadi pintar-pintarnya kita memilih pijakan. Setelah sampai di pos 2. Kami bertemu dengan banyak orang, khususnya eneng-eneng geulis pisan yang ternyata mereka mendaki dengan wedges (Oh My Ghost….) dengan make up yang lumayan menggoda, mungkin mereka foto model (entahlah hanya mereka dan pacarnya yang tau). Untuk sampai ke puncak kami harus mendaki dengan tali yang telah terikat di sekitaran tebing. Talinya memang cukup kuat karena dari tambang dan tertutup kain tebal. Sampai di puncak tak diperlukan waktu yang lama, sudah ada beberapa tenda yang didirikan di situ. Tapi yang membuat saya kurang excited adalah jalannya yang sangat kecil dengan pemandangan kiri kanan adalah jurang. Saat kami di puncak juga cuaca kurang mendukung karena mendung dan berkabut tebal. Tak kalah herannya adalah banyaknya serangga yang beterbangan dan sesekali menabrak bagian tubuh kami. Saat di puncak juga kami melihat banyak orang yang berpakaian tak selayaknya sebagai pendaki, mereka malah lebih tampak seperti ke mall (Seperti cewek-cewek geulis yang kami temui tadi. Di puncak juga terdapat dua spot foto yang menandakan pendaki telah sampai ke puncak. Terdapat juga memorial yang memandakan bahwa ada seornag pendaki yang tewas terjatuh di atas gunung dan dapat menjadi peringatan bagi kita para pendaki untuk tetap waspada ketika mendaki gunung. Tidak berapa lama setelah kami mengabadikan foto terjadilah hujan yang menyuruh bahwa kami harus sebera turun dari puncak. Hujannya lumayan lebat untungnya kami sudah menyiapkan perlengkapan ketika terjadi hujan. Tak butuh waktu lama untuk sampai di bawah lagi, kurang dari 20 menit kami sudah di bawah. Hujan pun reda, di saat perjalanan ke parkiran kami putuskan untuk istirahat sejenak di dekat kolam ikan dan membuat mie rebus. Ini ciri khas pendaki, kebersamaan. Setelah selesai kami pun bergegas pulang kembali ke Depok.

Kesan saya mendaki gunung ini adalah ketika melihat memorial yang berada di puncak yang mengingatkan pada kita bahwa kita tidak boleh terlalu lebay dalam mengabadikan gambar yang perlu diperhatikan juga faktor keselamatan.

Saya akan menulis kembali cerita saya ketika mendaki Gunung ketiga, tunggu ya….

Oiya lupa, ini foto-foto saya ketika menginjakkan kaki di Gunung Batu