Kamis, 02 Maret 2017

SAYA BANGGA MENJADI INDONESIA

INDONESIA:  KEBERAGAMANKU, KEKAYAANKU
Indonesia dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebenarnya merupakan harapan sekaligus sindiran tipis bagi rakyatnya. Bagaimana tidak. Indonesia dengan berbagai bangsa yang menyebar di berbagai pulau-pulau dari Sabang sampai Merauke memiliki banyak sekali budaya, adat-istiadat hingga kepercayaan. Namun dewasa ini, seperti kita tahu Bhinneka Tunggal Ika telah menimbulkan sindiran tipis di benak rakyatnya. Tak jarang adanya perbedaan itu menimbulkan masalah hingga konflik yang serius.
Beberapa kali Indonesia mengalami goncangan karena adanya konflik seputar SARA(Suku, Agama, Ras). Setiap konflik tersebut bermula dari konflik individu yang kemudian mengarah ke konflik kolektif yang mengatasnamakan etnis. Faktor ekonomi juga menjadi salah satu penyebab utama konflik di bangsa ini. Penguasaandi bidang ekonomi memicu besarnya  etnis yang bersifat sentimen dan adanya prasangka yang membuat konflik meranah ke agama. Sampai pada Sidang Pengadilan masing-masing pihak yang bertikai masih menunjukan etnosentrisnya. Aparat Pemerintah bukanya sebagai penengah namun ikut andil dalam konflik ini. Nampaknya kesenjangan sosial ekonomi dari pendatang yang sebagai mayoritas menguasai sektor ekonomi membuat konflik menjadi lebih memanas. Ketidakmerataan penyebaran penduduk juga dapat menimbulkan masalah.  Sebagai contoh Kepadatan penduduk yang mendororong etnis Madura melakukan migrasi ke Pulau Kalimantan. Di mana masih membutuhkan kebutuhan akan Sumber Daya Manusia untuk mengolah kekayaan alam dan membangun infrastruktur perekonomian. Pencapaian atas kerja keras, hidup hemat bahkan penderitaan yang dirasakan etnis Madura terbayarkan sudah ketika keberhasilan sudah ditangan. Dengan menguasai sektor-sektor perdagangan sehingga orang-orang non Madura yang lebih awal bergerak di bidang itu terpaksa terlempar keluar. (sumber: http://politik.kompasiana.com/2014/06/28/konflik-antar-etnis-penyebab-dan-solusi-664916.html)
Selain dari faktor-faktor internal seperti yang telah disampaikan di atas maka diperlukan juga factor internal yaitu faktor dari dalam diri masyarakat tersebut.  Masyarakat yang tidak memiliki toleransi kepada keberagaman membuat konflik semacam itu mudah terjadi. Pemerintah telah berusaha membuat perundang-undangan yang mengatur tentang keberagaman tersebut. Seperti dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi “Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.  Selain itu topik tentang keberagaman juga tertuang dalam Pasal 18 B ayat 2 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Ada juga Pasal 32 ayat 1 yang berbunyi “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”
Tetapi perundang-undangan tersebut tidak semata-mata diindahkan, adanya niat dan sikap toleransi yang saling menghargai juga harus dimunculkan.  Kemudian motto Bhinneka Tunggal Ika harus tetap dipegang teguh karena walau bagaimanapun kita berbeda –beda tetap satu jua.

Berkonsep dari jati diribangsa Indonesia sendiri yang merupakan salah satu negara besar dengan sekitar 252.000.000 penduduk,  17.000 pulau, 34 provinsi, sehingga membuat pluralitas pada suku, agama, ras, etnik, maupun bahasa. Seharusnya adanya pluralitas menjadikan bangsa Indonesia kaya akan kebudayaan dan memiliki ciri khas dari tiap-tiap daerah di dalamnya.  Maka dari itu setiap kebudayaan yang merupakan warisan leluhur harus selalu dilestarikan supaya dari generasi ke generasi bisa tetap melihat warisan budaya dari leluhurnya.




0 komentar:

Posting Komentar